Esai Puisi | Menganalisis Penggunaan Majas Dalam Sajak Rendra SAJAK IBUNDA


Puisi menemukan artinya bagi kehidupan bersama apabila bersumber pada sesuatu yang menemukan gemanya. Dan si penyair dalam hal ini berperan sebagai instrumen yang melahirkan puisi. Karena bersumber pada sesuatu yang menemukan gemanya dalam kehidupan bersama, maka puisi dengan caranya sendiri yang unik adalah pencatat pencatat yang baik dan dalam beberapa segi tertentu malahan yang terbaik tentang segala sesuatu yang berharga sepanjang penemuan-penemuannya pada zamannya. Sering puisi juga disebut pengamat  yang tajam terhadap berbagai kecendrungan dalam kehidupan bersama pada zamannya. Puisi dapat mengawsi dengan tajam ke mana kecendrungan itu bakal menuju dan artinya bila kecendrungan itu mencapai tujuannya nanti: suatu tingkat perkembangan yang lebih baik atau suatu bencana?

            Penciptaan sastra pada masa kini lebih menekankan pada masalah manusia, demikian pula dengan puisi. Persoalannya, bagaimana cara penyair menyajikannya. Itulah yang berbeda. Puisi diciptakan didasarkan atas ilham dari beragam peristiwa yang dituangkan dengan media terpilih, penjiwaan yang lengkap, dan membawa suatu konsep secara puitis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa gaya bahasa memainkan peranan yang penting dalam sebuah puisi. Gaya bahasa yang menjadikan karya itu hidup atau kaku. Kalau gaya bahasa dimanfaatkan secara baik, indah dan sempurna menjadikan karya itu menarik dan memikat hati pembaca. Begitu pula sebaliknya, penggunaan gaya bahasa yang kurang dioptimalkan dalam puisi justru tidak akan membawa efek apapun bagi puisi tersebut.
Dalam penulisan sajak atau puisi, setiap penyair memanfaatkan gaya bahasa  dengan cara mereka sendiri. Pembaca akan dapat menangkap gaya bahasa yang berbeda antara penyair yang satu dengan penyair yang lain. Gaya bahasa juga menjadikan sebuah karya itu bermutu tinggi di mata pembaca. Dan biasanya gayabahasa itu bergantung kepada pengalaman, ilmu dan kemahiran berbahasa yang dimiliki oleh setiap individu penyair.
Majas atau figurative language adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu. Majas merupakan bentuk retoris yang pengunaannya antara lain untuk menimbulkan kesan imajinatif bagi penyimak atau pembacanya
Terdapat empat macam jenis kelompok majas yaitu: (1) majas perbandingan, (2) majas penegasan, (3) majas pertentangan, dan (4) majas sindiran. Majas perbandingan adalah gaya bahasa yang bertujuan untuk membandingkan, yang termasuk majas ini diantaranya metafora, litotes, hiperbola, alusio, dan sebagainya. Majas penegasan adalah gaya bahasa yang betujuan untuk menegaskan sesuatu, yang termasuk majas ini diantaranya adalah antiklimaks, anaphora, koreksio, dan sebagainya. Majas pertentangan adalah gaya bahasa yang bertujuan untuk mempertentangkan sesuatu, yang termasuk majas ini diantaranya paradoks, antithesis, okupasi, dan sebagainya. Majas sindiran adalah gaya bahasa yang bertujan untuk menyindir, yang termasuk majas ini diantaranya ironi, sinisme, dan sarkasme.

Rendra dilahirkan di Solo tanggal 7 November 1935. Ia mulai menulis sajak sejak awal tahun 50-an, disam- ping giat dalam pertunjukan drama kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Ballada Orang-orang Tercinta (1953), kemudian Empat Kumpulan Sajak (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972),  Potret Pembangunan dalam Puisi, dan kini terbit kumpulan puisinya Disebabkan oleh Angin (1993). Cerita-cerita pendeknya dikumpulkan dengan judul Ia Sudah Bertualang (1963). Uraiannya tentang bermain drama 1976) yang mendapat hadiah pertama dari yayasan buku utama 1976 untuk karya non-fiksi.



Berikut ini penggunaan majas dapat dilihat dari karyanya W.S Rendra dikutip dari kumpulan sajak Rendra yang ditandai dengan “Potret Pembangunan dalam Puisi” yakni “Sajak Ibunda”.
Sajak Ibunda
Mengenangkan ibu
Adalah mengenangkan buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk pauk.
Dan ibu



Adalah pelengkap sempurna
Kenduri besar kehidupan.

Wajahnya adalah wajah senjakala:
Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema
Dari bisikan hati nuraniku.

Mengingat ibu,
Aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
Aku percaya akan kebaikan hati manusia.
Melihat foto ibu,
Aku mewarisi naluri kajadian alam semesta

Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
Akupun ingan kamu punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
Aku peluk kamu di dalam persahabatan.
Kini kita saling menyakitkan hati,
Agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
Yang selalu, bagai bumi, air dan langit.
Membela kita dengan kawajaran.

Maling punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, fasis,
Wartawan amplop, dan anggota perlemen yang dibeli,
Mereka pun punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?

Apakah sang  akan berkata kepada ibunya:
”ibu, aku aku telah menjad antek modal asing,
Yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi
kemelaratan rakyat,
Lalu aku beli gunumg negara dengan harga murah,
Sementara orang desa yang tanpa tanah
jumlahnya melimpah.
Kini aku kaya.
Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung
bakal kuburanmu nanti.”

Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.
Tetapi bagaimana sang anak lalu akan
Menerangkan kepada ibunya
Tentang kedudukannaya sebagai
Tiran, koruptor, hama hutan
Dan tikus sawah?
Apakah sang tiran akan menyebut dirinya
sebagai pemimpin revolusi?
Koruptor dan modal antek asing akan
menamakan dirinya sebagai pahlawan pembangunan?
Dan hama hutan serta tikus sawah akan
menganggap dirinya sebagai petani teladan?

Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?
Mungkinkah seorang ibu akan berkata:
“Nak jangan lupa bawa jaketmu,
Jagalah dadamu terhadap hawa malam.
Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.
O, ya, kalau nanti kamu dapat amplop,
Tolong belikan aku udang goreng.”
Pada puisi ini terdapat majas perbandingan yaitu alegori. Alegori adalah majas perbandingan yang bertautan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh yang berupa cerita singkat yang mengandung kiasan atau lambing. Hal ini terlihat pada bait pertama, yaitu:
Mengenangkan ibu
Adalah mengenangkan buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk pauk.
Dan ibu
Adalah pelengkap sempurna
Kenduri besar kehidupan.
Pada bait pertama tersebut, penyair menyimbolkan ibu dengan buah-buahan dan sebagai pelengkap sempurna, sementara istri dengan makanan utama, pacar dengan lauk pauk. Pada bait ini juga terdapat majas metafora yang melukiskan sesuatu dengan perbandingan secara implisit. Buah-buahan, lauk pauk diibaratkan dengan manusia yang sejatinya tidak akan pernah dimakan oleh manusia itu sendiri dalam kehidupan normal, apalagi diungkapkan bahwa istri dilambangkan dengan makanan utama yang seorang suami tidak mungkin memakan istri yang dikasihinya.
            Bait ke II, terdapat majas Alusio yaitu majas yang menunjuk secara tidak langsung peristiwa, tokoh, tempat yang sudah dikenal benyak pembaca.

Wajahnya adalah wajah senjakala:
Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema
Dari bisikan hati nuraniku.

            Pada bait ke III terdapat majas perumpamaan yaitu majas yang menggunakan perbandingan antara dua hal yang pada hakekatnya berlainan tetapi sengaja dianggap sama, perbandingan dinyatakan secara explisit. Pada bait ini juga terdapat majas epifora atau epistrofa yaitu majas yang berupa perulangan kata di akhir baris atau di akhir kalimat, tampak pada baris Pertama, ketiga, dan kelima yaitu kata “ibu”.

Mengingat ibu,
Aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
Aku percaya akan kebaikan hati manusia.
Melihat foto ibu,
Aku mewarisi naluri kajadian alam semesta
Pada bait ke III ini juga terdapat majas anaphora yaitu majas yang berupa perulangan kata pertama di awal baris atau kalimat, seperti terlihat pada baris ke II, ke IV, dan ke VI, yaitu kata “aku”.
Pada bait ke IV juga terdapat majas algeori. Penyair menceritakan kepada kita bahwa kita semua punya ibu dan menerangkan kepada kita betapa ibu sangat barperan penting pada kehidupan kita.
Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
Akupun ingan kamu punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
Aku peluk kamu di dalam persahabatan.
Kini kita saling menyakitkan hati,
Agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
Yang selalu, bagai bumi, air dan langit.
Membela kita dengan kawajaran.
Pada bait ini juga ditemukan majas anafora, yaitu pada kata “aku” pada baris ke II, III, dan  IV.
            Begitupula pada bait ke V ini terdapat majas alegori, ditemukan juga majas anafora pada baris ke VI, VII, dan VIII. Ditemukan pula penggunaan majas epifora pada baris pertama yaitu “punya ibu”.
Maling punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, fasis,
Wartawan amplop, dan anggota perlemen yang dibeli,
Mereka pun punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?
Keseluruhan Sajak Ibunda karya WS Rendra ini menggunakan majas Alegori sebagai dasar penulisannya dan diikiti majas perbandingan dan majas perulangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar