Arti Berbicara, Fungsi Dan Pemakaian Bahasa Menurut Para Ahli


3.1  Arti berbicara dan retorika

Berbicara mempunyai arti: (a) saling mengkomunikasikan pikiran, perasaan dan kebutuhan secara verbal, (b) mewujudkan kemampuan bahasa reseptif dan bahasa ekspresif. Dapat disimpulkan berbicara adalah salah satu bentuk komunikasi antar pribadi. Sedangkan berkomunikasi merupakan proses dua arah. Untuk terjadinya komunikasi dan percakaran diperlukan mendengar dan bberbicara. Untuk barbicara secara efektif belajar mendengarkan dan belajar berbicara sama pentingnya. Sehingga pendengar dalam komunikasi antar pribadisedikitnya ada 3 hal yang arus dilakukan (Heterighon dan Park, 1979:296):
a.       Mengukur pembicaraan yang didengarnya secara pasti;
b.      Belum mengaetahui bahwa pesan yang disampaikan itutidak jelas, ia dapat memberitahukan kepada si pembicara;
c.       Ia dapat menentukan informasi tambahan yang ditujukan agar dapat menerima pesan tersebut

           
Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik, yang digunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanay berarti berbicara lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan.
Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat, dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antarapengetahuan, pikiran, kesenian, dan kesanggupan berbicara. Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang tepat, benar dan mengesankan. Itu berarati kita harus dapat berbicara jelas, singkat, dan efektif. Jelas supaya mudah dimengerti, singkat untuk menghemat waktu, dan sebagai tanda kepintaran, dan efektif karena apa gunanya kalau berbicara tidak membawa efek?
Dalam konteks ini pepatah China mengatakan, “orang menembak banyak nelum tentu seorang penembak yang baik, dan orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara”.

3.2  Fungsi dan pemakaian bahasa
Setiap insan manusia yang lahir ke dunia dikaruniai oleh Yang Maha Pencipta dengan kompetensi bahasa, yang merupakan pengetahuan seseorang mengenai kaidah-kaidah bahasa yang menjadi masalah terutama para guru bahasa ialah bagaimana cara memupuk serta meningkatkan kompetensi tersebut sehingga dapat membuahkan perfomansi (penggunaan actual baahsa dalam situasi-situasi nyata) yang baik sehingga insan pembelajar dapt terampil berbahasa dalam kehidupan sehari-hari.
Kompetansi komulatif adalah kemampuan untuk menerapkan kaidah-kaidah gramatikal suatu bahasa untuk mebentuk kalimat-kalimat yang benar secara gramatikal untuk mengetahui apabila dan di mana menggunakan kalimat-kalimat tersebut dan kepada siapa. Kompetensi komulatif ini meliputi:
a.       Pengetahuan mengenai tatabahasadan kosa kata bahasa yang bersangkutan;
b.      Penetahuan mengenai kaidah-kaidah berbicara (yaitu mengetahui bagaimana memulai dan mengahiri percakapan, mengetahui tofik-tofik apa yang mungkin dibicarakan dalam berbagai tipe peristiwa-bicara, mengetahui bentuk-bentuk sapaan yang seharusnya dipakai kepada teman kita berbicara dan dalam berbagai situasi);
c.       Mengetahui bagaimana cara menggunakan dan memberi respon terhadap berbagai tipe tindak-tutur, seperti meminta, memohon, meminta maaf, mengucapkan terima kasih, dan mengundang orang.
d.      Mengetahui bagaimana cara menggunakan bahasa secara tepat dan memuaskan.
 Dengan demikian maka apabila seseorang ingin berkomunikasi dengan orang lain, maka dia harus mengenali latar belakang sosial, hubungannya dengan orang lain, dan tipe-tipe bahasa yang dapat dipergunakan bagi kesempatan tertentu. Dia juga harus mampu mengintropeksikan, menafsirkan kalimat-kalimat tulis atau lisan di dalam keseluruhan konteks tempatnya diakai.

A.    Fungsi bahasa menurut para ahli
Ogden dan Richards (1946: 226) mengemukakan adanya lima fungsi bahasa:
·         Pelambangan acuan (Symbolizahan of refrence)
·         Pengekspresian sikap para penyimak (The expression of attitude to listener)
·         Pengekspresian sikap pada pengacu (The expression of attitude of referent)
·         Promosi pengaruh yang diharapkan (Yhe promotion of effects intended)
·         Penunjang acuan/refrensi (Support of refrence).
                                                   
Wilkins (1976) mengemukakan adanya 8 kategori fungsi bahasa dalam kaitannya dengan “kategori fungsi komunokatif”, yaitu:
·         Modalitas, yaitu pengekspresian (tingkat-tingkat) kepastian pengekspresian keperluan dan pendirian
·         Disiplin dan evaluasi moral, yaitu pengekspresian kesetujuan dan ketidaksetujuan
·         Suasi/rujukan, yaitu meyakinkan, menanjurkan, mendorong
·         Argumen, yaitu menjelaskan, menerangkan, memperdebatkan, menentangkan, menegaskan
·         Inkuiri dan eksposisi rasional, yaitu mengekspresikan implikasi-implikasi, memberikan contoh, membatasi
·         Emosi-emosi personal, yaitu mengekpresikan kesenangan, keheranan, kegelisahan, kejengkelan
·         Relasi-relasi emosional, misalnya menyapa, mengekpresikan rasa syukur dan terima kasih
·         Relasi-relasi interpersonal, yaitu mengekspresikan tingkat formalitas, dan keramahtamahan (Johnsun 1903:35)

B.     Pemakaian Bahasa
Malinowski membenakan enam tipe penggunaan/pemakaian bahasa, antara lain:
·               Pragmatic use (pemakaian pragmatic)
·               Narrative use (pemakaian naratif)
·               Ritual (magic) use (pemakaian ritual magik)
·               Scholastic use (pemakaian skolastik)
·               Theological use (pemakaian kologis)
·               Scientific use (pemakaian ilmiah)

3.3  Alasan berbicara
Setiap orang mengatakan, “dia tahu banyak hanya tidak dapat mengungkapkan dengan baik . Dia tidak dapat mengungkapkan pikirannya secara meyakinkan”. Sangtlah menyedihkan, apabila orang memiliki pengetahuan yang berguna, tetapi tidak dapat mengkomunikasikannyasecara mengesankan dan meyakinkan kepada orang lain. Hal tersebut merupakan salah satu contoh mengapa retorika itu perlu.
Menurut Masinambouw (1985) ada dua system yang saling berhubumgan yang “melekat” pada manusia. Kedua system itu adalah kebudayaan dan kebahasaan. Kalau kebudayaan itu adalah suatu system yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu system yang berfungsi sarana berlangsungnya interaksi itu.
Bagaimana sifat hubungan antara kebudayaan dan bahasa itu? Apakah bersifat kordinatif, artinya keduanya merupakan dua fenomena terpisah yang sederajat; ataukah bersifat subordanatif, artinya keduanya merupakan satu fenomena dimana yang satu berada di bawah yang lain. Kalau hubungannya bersifat subordinatif, maka persoalan timbul, manakah diantara keduanya yang merupakan main sistem dan mana yang merupakan subsistem; kebudayaan yang menjadi main sistem dan kebahasaan menjadi subsistemmya, atau sebaliknya. Ternyata para pakar yang menaliti kasus ini saling berbeda pendapat. Silzer (1990) menyatakan hubungan kebudayaan dan kebaashaan seperti anak kembar siam, dua fenomena yang terikat erat, seperti hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yang lain pada mata uang logam.
Mengingat pentingnya berbicara, dewasa ini kita berada pada zaman reformasi yang di dalamnya sangat menjunjung tinggi HAM ( Hak Asasi Manusia) setaip tindakan selalu dikaitkan dengan HAM, namun yang ada dewasa ini banyak di antara kita yang sering salah menempatkan HAM dalam tingkah laku. Ide HAM yang didasarkan pada liberalisme (kebebasan) ini berbahaya dalam beberapa aspek. Kebebasan beragama (freedom of religion), misalnya, bukanlah semata-mata ketidakbolehan memaksa seseorang untuk memeluk agama tertentu; tetapi kebebasan untuk murtad dari islam, bahkan untuk tidak beragama sama sekali. Atas dasar kebebasan juga, keyakinan dan praktek yang menyimpang dari islam dibiarkan.
Di bidang sosial, dengan alasan kebebasan berperilaku sebagai ekspresi kebebasan individu, HAM melegalkan praktek yang menyimpang dari islam seperti seks bebas, homoseksual, lesbian serta fornografi dan fornoaksi. Akibatnya, kemaksiatan pun meluas di tengah-tengah masyarakat. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN) pada 2010 menunjukkan sebanyak 51% remaja di Jabodetabek tidak perawan lagi karena telah melakukan hubungan seks pranikah. Hal serupa juga terjadi di kota-kota besar lainnya. Di Surabaya tercatat 54%, Bandung 47%, dan 51% di Medan sudah tidak perawan. Bersamaan dengan itu, jumlah pengidap penyakit HIV/AIDS pun terus meningkat. ( Al-Islam, edisi 535/tahun xv).
Dari fakta tersebut, apakah kita masih tinggal diam dengan kerusakan yang makin menyebar di kalangan masyarakat? Sudah saatnya kita sama-sama mengubah perilaku buruk tersebut, mulai dari hal kecil yaitu saling mengingatkan, menyuarakan kebenaran islam di tengah-tengah masyarakat agar kita memiliki pemahaman yang sama dan dapat sama-sama berjuang. Seseorang akan berperilaku tergantung dari pemahamannya terhadap sesuatu.
Terkait dengan hal tersebut terdapat juga peran orang tua terhadap anak-anaknya untuk mengarahkannya mulai dari awal sebelum menuju kedewasaan seorang anak. Anak pertama kali mengenal Tuhan melalui bahasa, dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya yang awlnya diterima secara acuh. Masa kanak-kanak merupakan fase ketiga setelah fase dalam kandungan dan masih bayi. Pada masa ketiga merupakan saat yang tepat intuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya. Alam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan-ucapan orang di sekelilingnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar