Cerpen | Peluh Berdinding Salju

Semakin saya tumbuh dan menjadi dewasa ternyata baru  saya pahami betapa berfikir muncul ketika sudah mengetahui hakekat sesuatu sebelumnya. Kenapa saya berani berkata seperti itu? Karena tanpa tahu satu hal, hal-hal yang lain pun tidak mampu dibayangkan apalagi terfikirkan.  Ketika peristiwa ini terjadi padamu, mungkin saya dan dirimu sama saudaraku. Tapi, sajatinya kita tidak pernah sama satu sama lain, hatta yang kembar identik bahkan kembar siam sekalipun. Kalian tahu saudaraku? Kita semua adalah special, maka dari itu banggalah menjadi diri sendiri dengan mengembangkan potensi yang sudah mendasar pada diri kita. Sejatinya setiap kita diberi potensi dasar yang sama sejak kita dilahirkan ke dunia tempat landas kita saat ini. Inilah teori alam dan kehidupan, believe or not  itulah pilihan Anda. Begitulah celotehan yang senantiasa kuukir dalam diriku yang dhoif . “Taqiyah, masih mau ngoceh lagi, biar kukerjakan semua urusanku dan kita lanjutkan setelah itu?”  Zuhra menghentikan ocehanku dengan ekpresi datar. Saya tidak tahu Zuhra marah atau tidak, tapi saya bersyukur dan berucap, “hehe… thanks ya”. Kami lanjutkan pekerjaan yang sedari tadi tertunda lantaran saya yang memutuskan dengan ocehan seperti orang ngigo. Teringat masa-masa dulu bersama Zuhra di SMA.
Malam kelabu menemani risaunya malamku di kota asing. Malam terasa cepat berganti pagi. Semester satu, merupakan pencarian atas hasil yang sudah kupilih meski mungkin tidak berdasarkan minat yang kuat. Sehingga keseharianku ingin mencoba hal-hal yang baru yang bisa membuatku nyaman menyelami hidup yang baru saja kupilih. Maklum saja, karena kesepian di kontrakan, saya keluar mencari keramaian. Ramai saja ternyata tidak cukup, karena saya belum punya teman akrab seperti Zuhra, jadi tempat singgah yang saya pilih yaitu perpustakaan. Tidak menunggu bulanan akhirnya saya berjumpa dengan teman SMA yang dahulunya tidak bisa akrab dengannya, tapi di kota rantau ini kami merasa menyatu dalam darah. Kini saya temukan teman yang suatu ketika bisa menjadi tempat berbagi keluh kesah dan hal-hal yang mampu mendekatkan kami.
Sungguh kenyaman sulit saya temukan dalam sisi-sisi yang saya sentuh. Kalian tahu saudaraku? Teman yang saya ceritakan tadi, saya panggil dia dengan Rima. Rima juga mengalami hal yang semisal dengan saya, kemudian pada akhirnya kami membuat janji untuk bertemu  berbagi kisah yang tergolong pahit, pahit yang tidak bisa kami paksa telan tanpa air pelega. Kami bertemu di perpustakaan. Saya dan Rima bercerita sembari memikirkan bagaimana nasib kami ke depan dalam jangka waktu yang panjang. Pertemuan kami fokus membahas kondisi kami di rumah kontrakan yang tidak mendapatkan kenyamanan. Kami tidak butuh tempat yang megah nan luas, kami hanya butuh dipahami dan dimengerti. “Rima saya tidak habis pikir, apa alasan anak ibu kos saya ingin menipu orang tuanya dengan memperalat kepolosan saya. Saya, bodoh atau seperti apa, tapi saya tulus membantuya.  Kenapa dia tega menusuk saya dari belakang”, isak tangisku makin tak tertahan. Rima berusaha menenangkan pikiran dan perasaan saya yang tidak bisa mnerima perlakuan ini. Saudaraku, coba Anda bayangkan ketika Anda berada pada posisi sulit seprti ini, dibawa pergi dengan izin mengantarkan saya membeli buku, sejatinya tidak, jika pun saya ingin beli buku, saya tidak akan membeli di malam hari, karena saya pejalan kaki, dan lokasinya cukup jauh dari kontrakan.   Saya dibawa ke suatu tempat, tepatnya rumah temannya yang tidak pernah saya kenal. Saya ditinggalkan sendiri di rumah itu, HP saya dibawa pergi, tinggallah saya dalam kesendirian diliputi ketakutan. Harus bagaimana saya, Saudaraku? Orang tuanya sangat tidak suka dengan sikap yang diperbuat anakanya dengan menyusun kebohongan demi kebohongan, saat itu saya terlibat dalam kebohongan itu. Semua keluarganya tidak bertegur sapa dengan saya, batin saya semakin tersiksa. “Taqiya, jangan sedih lagi ya, di sini kita sama-sama, semoga kita jalani semuanya dengan mudah”, pesannya dengan suara tersendat karena iba. Iya Rima, seharusnya saya tidak boleh seperti ini, karena Rima juga dalam posisi yang sulit. Maafkan saya Rima… kami terdiam.
Seseorang yang dari tadi kami tidak sadari sudah berada di dekat kami, namun dia tidak terlibat dalam pembicaraan kami. Dia datang di tengah kami, menawarkan diri untuk bergabung bersama kami. Kami terima dengan senang hati. Iya. Beliau adalah mbak Icha. Mbak Icha menjelaskan bahwa masalah kami bukanlah masalah besar, masalah terbesar seluruh kita adalah masalah kaum muslim. Jadi, jangan individualis. Kami tersentak kaget, orang yang tidak dikenal tiba-tiba berbicara seperti itu terhadap kami. Kami terpana dengan fakta-fakta yang dipaparkan yang mesti kita pikirkan bersama. Kami buang kisah tadi seketika dan antusias mendengarkan mbak Icha. Dalam pembicaan singkat itu, beliau menyelipkan tentang system pergaulan dan kewajiban menutup aurat dengan sempurna yaitu dengan berjibab dan berkerudung. Kami merasa kami sudah mengenakan jilbab, karena kami paham kerudung itu adalah jilbab. Saudaraku, tersontak hati ini kaget, ternyata muslimah yang sudah kena taklif  hukum wajib mengenkan jilbab dan kerudung (terngkum dalam Al- Ahzab ayat 59 dan An-Nuur ayat 31). Dari pembicaan itu, saya dan Rima sadar kami tiak memiliki ilmu. Akhirnya kami memutuskan untuk berdiskusi lebih lanjut mengenai islam.
Penjelasan demi penjelasan semakin menyadarkan  akan kewajibanku memakai jilbab atau yang kita kenal dengan jubah. Saya ingin segera mengenakan jilbab, namun apa daya tak punya. Saudaraku, ketika kita tidak menutup aurat dengan sempurna maka setiap langkah dan jalan yang kita lewati, maka sejauh itu pula kita menghitung dosa kita sendiri. Menghitung dosa saudaraku, kalian tahu dosa saudaraku, dosa akan membawa kita pada neraka, penghidupan yang sangat hina.
Pagiku diliputi mendung yang dengan awal hitam yang tebal seakan menunjukkan gerhana matahari. Saya tidak bisa memikirkan betapa selama ini saya telah banyak menumpuk dosa kareana kebodohan. “Ya Allah ampuni hamba”, rintihan hati yang tak kunjung tenang menyelami hidup tanpa bekal yang cukup. Tuhan, izinkan hamba mendekat dengan-Mu, peluk hamba dalam mahabbah-Mu.  Saya bertemu dengan mbak Icha untuk yang ke sekian kalinya, pada akhirnya saya diberi dua jilbab untuk saya kenakan selama saya memilki jilbab sendiri. Saudaraku, dua jilbab saya kenakan dalam satu semester penuh. Bagi orang, dua tidak cukup, mengingat zaman yang semakin bersaing terutama fashion dengan beragam mode dan motif, tapi saya memilih tetap berjilbab meski dengan jilbab yang warnanya sudah pudar dan usang. Saudaraku, di semester  satu saya belum mengenakan jilbab karena belum tahu kewajiban ini. Semester dua, teman di kelas sudah tahu kostum seperti apa yang biasa saya kenakan sehari-hari di kampus. Mereka sangat hafal, tidak seorang pun yang ditahu dalam komunitasnya yang mengenakan jilbab.
Saya pergi ke kampus untuk yang pertama kalinya berjilbab, langkah kaki gontai diliputi bimbang karena bermain perasaan. Tiba di kelas, dari jauh sudah disambut dengan ungkapan yang tidak enak didengar. “Coba liat Qiya, sudah berubah total, masak secepat itu dia mengambil keputusan yang mebuatnya aneh di antara kita. Sok alim”, suara bisikan yang mampu terdengar. Tapi Saudaraku, mereka tidak mampu membantu kita kelak di hari penghisaban, kerna kita mempertanggungjawabkan perbuatan kita sendiri tanpa ada yang bisa membantu karena sibuk dengan urusan sendiri. Kuceritakan padamu Saudaraku, isi hati yang mantap ingin berjilbab dengan istiqomah sampai jiwa terhempas dari raga. Sampai saat ini, saya masih menjadi satu-satunya orang yang mengnakan jilbab dari 50 orang yang dominan perempuan. Saya tidak bangga Saudaraku, ini bukan prestasi yang memukau. Harusnya saya mampu mengelirkan pemahaman ini kepada saudaraku yang lain. Kalian tahu saudaraku, pengampu mata kuliah pun pernah mencibirku karena asingnya pandangan beliau terhadap saya yang tidak biasa dilihatnya. Banyak memang muslimah yang lain sudah mengenakan jilbab dan cadar, tapi diriku beda saudarku.
Keluargaku bukan backround  pesantren, tidak juga hanif. Membenci jilbab/jubah dan cadar. Orang tuaku lebih tahu tentangku karena kepribadianku terbentuk berkat kerja mereka mendidikku dari kecil. Jadi, sedikit beda saja sudah mereka tahu. Pertama kalinya saya pulang ke rumah dengan mengenakan jilbab. Saya ditanya bertubi-tubi sampai saya tidak mampu menjawab semuanya. Keluarga yang lain termasuk bibi saya, ketika melihat penampilan saya merka tertawa tanpa jeda. Apa yang mereka pikirkan, Saudaraku? “Kenapa harus tertawa sampai menggoncang perut seperti itu, apa tidak malu dengan diri yang sudah dewasa? Apa yang salah dari diriku?” pertanyakan saya samapiakan dengan bibir gemetaran karena kelu menahan tangis. “Kamu itu sok tua, usiamu masih muda. Kamu terlihat tua, kamu tidak cocok dengan baju itu. Saya tidak yakin kamu akan tatap mengenakan itu, hanya dua potong pula, anak kuliahan tidak akan mau menggenakan baju yang tidak ada salinannya dalam kurun waktu yang cukup lama. Kamu juga mau beli dengan apa, uangmu saja pas-pasan. Jadi jangan ngelak deh”, aliran kata-kata itu menghentak jiwaku yang tertidur pulas. Saya tidak mampu berucap apa-apa lagi. Saya terdiam dalam tangis, tak seorang pun memberikan pembelaan. “Akan kubuktikan pada kalian bahwa saya bukanlah orang yang mudah tumbang”, rintihku dalam kelu.
Tanpa dukungan seperti itu, apakah kalian sanggup Saudaraku? Sudah saya tekankan di awal, kita tidak pernah sama, setia kita mampu menyelesaikan masalah kita dengan beragam cara yang unik dalam tantangan. Saudaraku, setiap hal yang baru pasti akan mendapatkan respon dari banyak pihak, respon baiklah, buruk, bahkan no comment. Saya tidak tahu jika kalian  menciptkakan hal yang baru, respon apa yang kalian akan terima. Tak penting sejauh apa kau melangkah, jika jalanmu salah maka ubahlah. Fastabiqul khairot. 
By: FathMa AinWara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar