Semakin saya tumbuh dan menjadi dewasa
ternyata baru saya pahami betapa
berfikir muncul ketika sudah mengetahui hakekat sesuatu sebelumnya. Kenapa saya
berani berkata seperti itu? Karena tanpa tahu satu hal, hal-hal yang lain pun
tidak mampu dibayangkan apalagi terfikirkan.
Ketika peristiwa ini terjadi padamu, mungkin saya dan dirimu sama saudaraku.
Tapi, sajatinya kita tidak pernah sama satu sama lain, hatta yang kembar
identik bahkan kembar siam sekalipun. Kalian tahu saudaraku? Kita semua adalah
special, maka dari itu banggalah
menjadi diri sendiri dengan mengembangkan potensi yang sudah mendasar pada diri
kita. Sejatinya setiap kita diberi potensi dasar yang sama sejak kita
dilahirkan ke dunia tempat landas kita saat ini. Inilah teori alam dan
kehidupan, believe or not itulah pilihan Anda. Begitulah celotehan yang
senantiasa kuukir dalam diriku yang dhoif
. “Taqiyah, masih mau ngoceh lagi, biar kukerjakan semua urusanku dan kita
lanjutkan setelah itu?” Zuhra
menghentikan ocehanku dengan ekpresi datar. Saya tidak tahu Zuhra marah atau
tidak, tapi saya bersyukur dan berucap, “hehe… thanks ya”. Kami lanjutkan pekerjaan yang sedari tadi tertunda
lantaran saya yang memutuskan dengan ocehan seperti orang ngigo. Teringat
masa-masa dulu bersama Zuhra di SMA.
Malam kelabu menemani risaunya malamku
di kota asing. Malam terasa cepat berganti pagi. Semester satu, merupakan
pencarian atas hasil yang sudah kupilih meski mungkin tidak berdasarkan minat
yang kuat. Sehingga keseharianku ingin mencoba hal-hal yang baru yang bisa
membuatku nyaman menyelami hidup yang baru saja kupilih. Maklum saja, karena
kesepian di kontrakan, saya keluar mencari keramaian. Ramai saja ternyata tidak
cukup, karena saya belum punya teman akrab seperti Zuhra, jadi tempat singgah
yang saya pilih yaitu perpustakaan. Tidak menunggu bulanan akhirnya saya
berjumpa dengan teman SMA yang dahulunya tidak bisa akrab dengannya, tapi di
kota rantau ini kami merasa menyatu dalam darah. Kini saya temukan teman yang
suatu ketika bisa menjadi tempat berbagi keluh kesah dan hal-hal yang mampu
mendekatkan kami.
Sungguh kenyaman sulit saya temukan
dalam sisi-sisi yang saya sentuh. Kalian tahu saudaraku? Teman yang saya
ceritakan tadi, saya panggil dia dengan Rima. Rima juga mengalami hal yang semisal
dengan saya, kemudian pada akhirnya kami membuat janji untuk bertemu berbagi kisah yang tergolong pahit, pahit yang
tidak bisa kami paksa telan tanpa air pelega. Kami bertemu di perpustakaan.
Saya dan Rima bercerita sembari memikirkan bagaimana nasib kami ke depan dalam
jangka waktu yang panjang. Pertemuan kami fokus membahas kondisi kami di rumah
kontrakan yang tidak mendapatkan kenyamanan. Kami tidak butuh tempat yang megah
nan luas, kami hanya butuh dipahami dan dimengerti. “Rima saya tidak habis pikir,
apa alasan anak ibu kos saya ingin menipu orang tuanya dengan memperalat
kepolosan saya. Saya, bodoh atau seperti apa, tapi saya tulus membantuya. Kenapa dia tega menusuk saya dari belakang”,
isak tangisku makin tak tertahan. Rima berusaha menenangkan pikiran dan
perasaan saya yang tidak bisa mnerima perlakuan ini. Saudaraku, coba Anda
bayangkan ketika Anda berada pada posisi sulit seprti ini, dibawa pergi dengan
izin mengantarkan saya membeli buku, sejatinya tidak, jika pun saya ingin beli
buku, saya tidak akan membeli di malam hari, karena saya pejalan kaki, dan
lokasinya cukup jauh dari kontrakan.
Saya dibawa ke suatu tempat, tepatnya rumah temannya yang tidak pernah
saya kenal. Saya ditinggalkan sendiri di rumah itu, HP saya dibawa pergi, tinggallah
saya dalam kesendirian diliputi ketakutan. Harus bagaimana saya, Saudaraku?
Orang tuanya sangat tidak suka dengan sikap yang diperbuat anakanya dengan
menyusun kebohongan demi kebohongan, saat itu saya terlibat dalam kebohongan
itu. Semua keluarganya tidak bertegur sapa dengan saya, batin saya semakin
tersiksa. “Taqiya, jangan sedih lagi ya, di sini kita sama-sama, semoga kita
jalani semuanya dengan mudah”, pesannya dengan suara tersendat karena iba. Iya
Rima, seharusnya saya tidak boleh seperti ini, karena Rima juga dalam posisi
yang sulit. Maafkan saya Rima… kami terdiam.
Seseorang yang dari tadi kami tidak
sadari sudah berada di dekat kami, namun dia tidak terlibat dalam pembicaraan
kami. Dia datang di tengah kami, menawarkan diri untuk bergabung bersama kami.
Kami terima dengan senang hati. Iya. Beliau adalah mbak Icha. Mbak Icha
menjelaskan bahwa masalah kami bukanlah masalah besar, masalah terbesar seluruh
kita adalah masalah kaum muslim. Jadi, jangan individualis. Kami tersentak
kaget, orang yang tidak dikenal tiba-tiba berbicara seperti itu terhadap kami. Kami
terpana dengan fakta-fakta yang dipaparkan yang mesti kita pikirkan bersama.
Kami buang kisah tadi seketika dan antusias mendengarkan mbak Icha. Dalam
pembicaan singkat itu, beliau menyelipkan tentang system pergaulan dan kewajiban menutup aurat dengan sempurna yaitu
dengan berjibab dan berkerudung. Kami merasa kami sudah mengenakan jilbab,
karena kami paham kerudung itu adalah jilbab. Saudaraku, tersontak hati ini
kaget, ternyata muslimah yang sudah kena taklif
hukum wajib mengenkan jilbab dan
kerudung (terngkum dalam Al- Ahzab ayat 59 dan An-Nuur ayat 31). Dari pembicaan
itu, saya dan Rima sadar kami tiak memiliki ilmu. Akhirnya kami memutuskan
untuk berdiskusi lebih lanjut mengenai islam.
Penjelasan demi penjelasan semakin
menyadarkan akan kewajibanku memakai
jilbab atau yang kita kenal dengan jubah. Saya ingin segera mengenakan jilbab,
namun apa daya tak punya. Saudaraku, ketika kita tidak menutup aurat dengan
sempurna maka setiap langkah dan jalan yang kita lewati, maka sejauh itu pula
kita menghitung dosa kita sendiri. Menghitung dosa saudaraku, kalian tahu dosa
saudaraku, dosa akan membawa kita pada neraka, penghidupan yang sangat hina.
Pagiku diliputi mendung yang dengan
awal hitam yang tebal seakan menunjukkan gerhana matahari. Saya tidak bisa
memikirkan betapa selama ini saya telah banyak menumpuk dosa kareana kebodohan.
“Ya Allah ampuni hamba”, rintihan hati yang tak kunjung tenang menyelami hidup
tanpa bekal yang cukup. Tuhan, izinkan
hamba mendekat dengan-Mu, peluk hamba dalam mahabbah-Mu. Saya bertemu dengan mbak Icha untuk yang
ke sekian kalinya, pada akhirnya saya diberi dua jilbab untuk saya kenakan
selama saya memilki jilbab sendiri. Saudaraku, dua jilbab saya kenakan dalam
satu semester penuh. Bagi orang, dua tidak cukup, mengingat zaman yang semakin
bersaing terutama fashion dengan
beragam mode dan motif, tapi saya memilih tetap berjilbab meski dengan jilbab
yang warnanya sudah pudar dan usang. Saudaraku, di semester satu saya belum mengenakan jilbab karena belum
tahu kewajiban ini. Semester dua, teman di kelas sudah tahu kostum seperti apa
yang biasa saya kenakan sehari-hari di kampus. Mereka sangat hafal, tidak seorang
pun yang ditahu dalam komunitasnya yang mengenakan jilbab.
Saya pergi ke kampus untuk yang pertama
kalinya berjilbab, langkah kaki gontai diliputi bimbang karena bermain
perasaan. Tiba di kelas, dari jauh sudah disambut dengan ungkapan yang tidak
enak didengar. “Coba liat Qiya, sudah berubah total, masak secepat itu dia
mengambil keputusan yang mebuatnya aneh di antara kita. Sok alim”, suara
bisikan yang mampu terdengar. Tapi Saudaraku, mereka tidak mampu membantu kita
kelak di hari penghisaban, kerna kita mempertanggungjawabkan perbuatan kita
sendiri tanpa ada yang bisa membantu karena sibuk dengan urusan sendiri. Kuceritakan
padamu Saudaraku, isi hati yang mantap ingin berjilbab dengan istiqomah sampai
jiwa terhempas dari raga. Sampai saat ini, saya masih menjadi satu-satunya
orang yang mengnakan jilbab dari 50 orang yang dominan perempuan. Saya tidak
bangga Saudaraku, ini bukan prestasi yang memukau. Harusnya saya mampu
mengelirkan pemahaman ini kepada saudaraku yang lain. Kalian tahu saudaraku,
pengampu mata kuliah pun pernah mencibirku karena asingnya pandangan beliau
terhadap saya yang tidak biasa dilihatnya. Banyak memang muslimah yang lain
sudah mengenakan jilbab dan cadar, tapi diriku beda saudarku.
Keluargaku bukan backround pesantren, tidak
juga hanif. Membenci jilbab/jubah dan cadar. Orang tuaku lebih tahu tentangku
karena kepribadianku terbentuk berkat kerja mereka mendidikku dari kecil. Jadi,
sedikit beda saja sudah mereka tahu. Pertama kalinya saya pulang ke rumah
dengan mengenakan jilbab. Saya ditanya bertubi-tubi sampai saya tidak mampu
menjawab semuanya. Keluarga yang lain termasuk bibi saya, ketika melihat
penampilan saya merka tertawa tanpa jeda. Apa yang mereka pikirkan, Saudaraku?
“Kenapa harus tertawa sampai menggoncang perut seperti itu, apa tidak malu
dengan diri yang sudah dewasa? Apa yang salah dari diriku?” pertanyakan saya
samapiakan dengan bibir gemetaran karena kelu menahan tangis. “Kamu itu sok
tua, usiamu masih muda. Kamu terlihat tua, kamu tidak cocok dengan baju itu.
Saya tidak yakin kamu akan tatap mengenakan itu, hanya dua potong pula, anak
kuliahan tidak akan mau menggenakan baju yang tidak ada salinannya dalam kurun
waktu yang cukup lama. Kamu juga mau beli dengan apa, uangmu saja pas-pasan.
Jadi jangan ngelak deh”, aliran kata-kata itu menghentak jiwaku yang tertidur
pulas. Saya tidak mampu berucap apa-apa lagi. Saya terdiam dalam tangis, tak
seorang pun memberikan pembelaan. “Akan kubuktikan pada kalian bahwa saya
bukanlah orang yang mudah tumbang”, rintihku dalam kelu.
Tanpa dukungan seperti itu, apakah
kalian sanggup Saudaraku? Sudah saya tekankan di awal, kita tidak pernah sama,
setia kita mampu menyelesaikan masalah kita dengan beragam cara yang unik dalam
tantangan. Saudaraku, setiap hal yang baru pasti akan mendapatkan respon dari
banyak pihak, respon baiklah, buruk, bahkan no
comment. Saya tidak tahu jika kalian
menciptkakan hal yang baru, respon apa yang kalian akan terima. Tak
penting sejauh apa kau melangkah, jika jalanmu salah maka ubahlah. Fastabiqul khairot.
By: FathMa AinWara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar