Karya sastra
akan selalu menarik perhatian karena mengungkapkan penghayatan manusia yang
paling dalam, dalam perjalanan hidupnya di segala zaman: di segala tempat di
dunia ini. Melalui sastra sebagai hasil kesenian kita memasuki pengalaman
bangsa dan bangsa-bangsa, sejarah dan masyarakatnya untuk menyelami apa yang
pernah dipikirkan dan dirasakan. Dengan demikian sastra akan menambah kearifan
dan kebijaksanaan dalam kehidupan (Jassin, 1983:4). Banyak yang percaya bahwa
karya sastra merupakan salah satu indikator untuk melihat “potret” sebuah
bengsa. Sastra memang bisa menunjukkan bangsa. Pandangan ini tidaklah terlalu
berlebihan sebab sebuah karya sastra sesungguhnya memang lahir dari kepekaan
dan perenungan yang berpijak dari realitas kehidupan. Dalam hal ini kumpulan
cerpen yang dihasilkan oleh “ Sori Siregar” yang berjudul “Sang Pemimpin”. Sori
Siregar lahir di Medan, 12 November 1946. Mengarang sejak tahun 1960. Tahun
1966-1970 bekerja di seksi bahasa Inggris,, RRI Nusatenggara III Medan.
Sebagai penulis, dua buah novelnya,
masing-masing Wanita itu adalah Ibu (1978) dan Telepon (1979) terpilih sebagai
pemenang dalam Sayembara Mengarang Roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian
Jakarta. Beliau telah melahirkan 6 novel dan 9 kumpulan cerita pendek yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta, Pustaka Jaya, Jakarta, Penerbit Nusa
Indah, Ende, Flores, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta dan Penerbit Kompas,
Jakarta. Salah satu kumpulan cerpennya “sang pemimpin” kita melihat runtut
cerita yang realistis, mudah dicerna, tetapi mengandung makna yang cukup mendalam.
Dalam kumpulan cerpen “Sang Pemimpin”, kita juga bisa menyaksikan bagaimana
sang penulis menyajikan sebuah potret sosial yang terkadang begitu sederhana,
namun di lain kesempatan ia juga menggambarkan dengan penuh perenungan yang
dalam.
Tema, menurut Sudjiman (1983:5),
adalah sesuatu yang menjadi persoalan dalam sebuah karya sastra, yang dibungkus
sedemikian rupa oleh pengarangnya. Tema adalah ide pokok yang dikembangkan
dengan beragam konsep. Dalam hal ini “Sori Siregar” mengangkat tema tentang “sang
pemimpin” dalam kepemipinan baik dalam pemerintahan, masyarakat, keluarga,
bahkan diri sendiri. Sori Siregar memandang sikap pemimpin kita dewasa ini
tidak sesuai dengan fitrah manusia. Mereka sebagai pelayan rakyat seharusnya
melayani rakyat dengan baik dan adil bukannya malah berkuasa atas rakyat. Namun,
ini jauh dari cita, mereka yang memegang pemerintahan malah menyengsarakan
rakyat. Jaminan yang sering dijanjikan pun tidak pernah dipenuhi, jaminan itu
hanya ilusi dan fatamorgana dari manusia
yang haus akan kekuasaan. Seperti tertuang dalam salah satu isi kumpulan cerpen
pemimpin “sahabat” bagaimana dua sahabat saling mendebat tentang kebijakan para
wakil rakyat:
Rakyat tidak terlalu banyak menuntut, tapi selalu
dengan tuntutan yang wajar sambungku (Rafi). Tapi, anehnya wakil-wakil rakyat
kurang mendengar tuntutan itu, dan menyuarakan lain dari yang dituntut itu. Soalnya
karena rakyat kurang menyuarakan apa yang mereka inginkan dan semata-mata
menggantungkan nasib mereka pada wakil-wakil mereka. Memang seharusnya begitu,
karena itulah mereka memilih wakil mereka. Dan wakil-wakil itulah yang seharusnya
menyelidiki apa kebutuhan-kebutuhan dari rakyat yang diwakilinya bukan
sebaliknya.
Dan yang terjadi
sekarang ini waki-wakil rakyat yang menzolimi. Sangat tragis memang, betapa rakyat dibodohi oleh para penguasa,
tapi rakyat tidak peka dengan kondisi mereka. Bagaimana tidak, keadaan seperti
ini sudah mendarah daging dalam hidup ini. Mulai dari kepemimpinan terendah
samapai para petinggi negara memiliki andil dalam mengurus kesejahteraan
rakyat, tapi sebaliknya mereka malah berleha-leha dan tidak peduli dengan
rintihan rakyat. Siapa yang bisa mendengar ini semua? Adakah yang ingin
memberikan jalan keluar? Bukankah solusi
begitu luas terbentang? Siapa yang bisa menunjukkan jalan itu? Rintihan yang
tidak pernah usang dan tak ada yang
meraba padahal ini begitu tampak dan jelas. Ini suara rakyat yang merindukan
sebuah perubahan kebangkitan, pernahkah wakil mereka tergerak hatinya untuk
mengikuti nurani rakyat? Rakyat sakit semakin parah, namun penguasa terus asyik
dalam kehidupan mereka.
Masyarakat Indonesia saat ini berada
di ujung tubir keparcayaan kepada para pemimpinnya. Karena benyak pemimpin di
negeri ini tidak menunjukkan keteladanan dalam mengemban amanah yang
dipikulnya. Apa yang dikatakan di depan publik berbeda dengan apa yang
dilakukan. Sperti yang terungkap dalam cuplikan cerpen yang berjudul “Sang Pemimpin”,
betapa wakil rakyat tidak bisa merakyat hanya bisa berkoar-koar tanpa ingin
memenihi janji mereka.
“Kerja bakti jumlahnya merosot, dibandingkann
ketika sebelumnya Kosim menjadi ketua PWK. Lalu setiap ada kerja bakti, Kosim
pagi-pagi sekali sudah meninggalkan rumah. Alasannya ada urusan kantor yang harus diselesaikan.padahal semua
oarang tahu, kerja bakti selalu dilakukan pada hari minggu. Celakanya, kepada
kami berlima yang dianggapnya pelindungnya dan bisa menyimpan rahasia, ia
berterus terang, “kalau saya ikut kerja bakti bersama semua warga, wibawa saya
sebagai pemimpin bisa jatuh. Kalian kan tahu, di antara warga kita itu ada
tukang becak dan penjaga warung”. Ingat mengingat hasil keja Karim kami lanjutkan. Jalan di kompleks
kami tidak juga beraspal dan telepon tidak pernah masuk. Kegiatan olahraga
masih tetap saja bulu tangkis, karena di tanah kosong di Nirwana Molek yang kata Karim akan menjadi lapangan
sepak bola warg akompleks kami, telah dibangun rumah-rumah mewah yang membuat
mulut brdecak. Kursus bahas Inggris yangpimpin Karim tidak juga dibuka. Dan seabreg janji-janji butanya.
Dari sini kita bisa melihat bagaimna
kinerja pemimpin kita dan para wakil-wakil rakyat yang hanya bisa berbicara
tanpa ada tindakan yang berarti di mata rakyat. Ironis memang. Sekedar contoh,
saat membuka KUII (Kongres Umat Islam Indonesia) V Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menegaskan, “islam hadir sebagai jalan kehidupan dan keadilan bagi
seluruh alam. Islam datang untuk keadilan. Nilai-nilai islam yang merupakan
tuntunan Al-Quran dan as-Sunnah dalah mata air. Al-Quran dan as-Sunnah adalah
pedoman hidup jalan lurus untuk keselamatan dunia akhirat.” Namun, kenyataannya
al-Quran dan as-Sunnah tidak dijadikan landasan kehidupan. Semuanya adalah
kebohongan yang nyata. Tidak salah jika kita mengatakan semua ini, buktinya
memang ada dan semua kita mengalami dan merasakannya, tapi banyak yang tidak
ingin menyongsong kebangkiatan.
Lantas apanya yang salah dan siapa
yang patut disalahkan? Rakyat di mana-mana mengeluh, tidak ada perubahan
drastis sebagaiman diharapkan. Memang tidak mungkin adanya perubahan yang
drastis, setelah pimpinan pemerintahan yang baru menerima warisan kebobrokan
dari pimpinan yang lama. Kebobrkan itu sudah sedemikian parahnya, sehingga
terlalu sulit untuk secepatnya diperbaiki. Dan rakyat tidak bisa disalahkan
kalau sekiranya mereka mengalami prustasi. Kalau memang keadaannya seperti ini,
bisa jadi sistem yang diterapkan saat ini lagi sakit atau bahkan rusak dan
membusuk sehingga siapapun yang menjalankannya akan terus melakuakan hal yang
sama seperti pemimpin terdahulu karena tuntutan sistem yang diembannya. Ilmu
bisa membuat orang beradab, semakin banyak memiliki ilmu orang akan semakin
menghargai peraturan, semakit mengenal etika, sopan santun, serta semakin
berwatak. Banyak orang yang tahu namun tidak mau melakukannya. Menganggap
peraturan hanya sebuah anjuran, sangat dangkal memang, tapi sangat berpengaruh.
Para koruptor juga memiliki ilmu yang tinggi namun tidak bermoral. Apa yang
salah dengan ini?
Seperti yang
terjadi saat ini di bangsa kita bangsa Indonesia, begitu banyak para wakil
rakyat yang merampas milik rakayat dengan ilmu tinggi mereka. Mula-mula alasan
mereka untuk menghidupi keluarga, tetapi mereka lama-lama memburunya untuk
menumpuk kekeyaan. Jika kita tengok ke belakang tentang kebobrokan yang
ditimbulkan rezim-rezim terdahulu banyak yang melakuan kejahatan pada
rakyatnya, rezim yang dianggap melakukan penyelewengan dengan segera
ditumbangkan dan di gantikan dengan yang lain. Namun, tidak membawa apa-apa
bagi para penggantinya. Karena dididik dengan sistem politik yang sama, juga
dilakukan oleh pelaku-pelaku politik yang sama, model penyelenggaraan
pemerintah tidak berubah. Korupsi politik yang berimbas kepada korupsi di
tubuhh kekuasaan bukannya makin berkurang, melainkan terus membengkak dari segi
pelaku, jumlah uang yang diambil, sampai
dampak kerusakan yang ditimbulkan.
Sebenarnya uang itu lebih tepat disebut uang
haram, bukan uang panas. Mereka merampas hak rakyat dengan kejam, dan mereka
dihukum dengan kesenangan, tidak ada sanksi yang tegas bagi mereka, mereka
menikmatinya dengan kesenangan dan tidak mengurangi ketakutan mereka
sedikitpun. Hukum bisa dibeli, dan dibeli dengan uang haram pula, bagaimana
bangsa bisa bangkit dengan perilaku amoral seperti ini, ini hanya setitik dari
tindakan kriminal yang belum juga bisa diatasi dengan tuntas. Bangsa menangis,
merintih, menjerit, ingin dibebaskan, bagaimana tidak dengan rakyat yang ada di
dalamnya yang membutuhkan perlindungan. Siapa yang bisa melindungi mereka,
kalau pelindung mereka berbalik muka? Hukum yang mereka buat tidak berlaku pada
diri penguasa dan pembuat hukum. Objek hukum senantiasa orang-orang miskin, tak
berdaya, tertindas, diabaikan, direnggut haknya.
Lagi-lagi para
wakil rakyat bertindak kejam tanpa simpati akan penderitaan rakyat, milik
rakyat diramapas kejam dengan terang-terangan tanpa ragu, dalam potongan cerpen
“Perang” mengapa hanya sedikit manusia yang peduli akan nasib saudaranya.
“…rombongan penduduk yang mengdukan nasibnya ke DPR.
Tanah mereka dibuldozer tanpa ganti rugi yang wajar”
Siapa yang mau
mendengarkan peraduan tersebut, sementara dalam perampasan tersebut di dalamnya
ada pengaruh DPR, melakukan perundingan sebelum menjalankan aksi busuk itu,
mereka membuat kondisi ini terformat dengan sistematika yang rapi. Sampai
rakyat sekaratpun mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap tidakan mereka, mereka
tidak akan mau mengembalikan apa yang meraka rampas dari rakyat. Mereka begitu
kejam, tak barnurani. Padahal ketika berkempanye, mereka mengalirkan berbagai
macam janji yang menggetarkan jiwa, mereka mengatakan kami adalah penyalur
aspirasi dan nurani rakyat. Apakah mereka lupa dengan ungkapan itu atau hanya
pura-pura lupa? Nyatanya mereka benar-benar mengingkarinya.
Kebohongan
ini terus terulang dan berlanjut, kenapa tidak ada yang bosan dalam kubangan
yang penuh siksaan seperti ini, kebanyakan mereka menikmatinya dan menganggap
hal tersebut mengasyikkan sehingga tidak mau meninggalkannya. “Sori Siregar”
memandang bangsa ini penuh dengan kotoran yang semakin hari semakin menumpuk,
menggunung yang akhirnya gunung itu akam meletus dan meluluh- lantahkan semua
yang ada di sekelilingnya. Jika semua ini tidak dihantikan segera akan
mendatangkan dampak yang lebih besar lagi sampai akhirnya tidak akan pernah
bisa keluar dari kubangan ini.
Seperti juga dalam potongan
cerpennya yang berjudul“Keputusan”
…Aku diminta kembali ke kantor tanpa harus bekerja,
kewajibanku hanya datang, duduk, meninjau dari satu kamar ke kamar lain. Sudah
itu boleh pulang…
Dan gajiku lebih tinngi dari yang kuterima dulu.
Bekas atasanku ingin menjadikanku semata-mata
sebagai lamabang. Ia merasa kehadiranku di sana dapat membangkitkan semangat
kerja yang hancur lebur setelah aku berhenti bekerja.
Lagi-lagi Sori Siregar menambahkan
bagaimana seseorang dalam memimpin orang lain dan dirinya sendiri. Siapa yang
tidak mengnggap ini adalah sesuatu yang tidak wajar dan gila, seseorang yang
tanpa melakukan apa-apa akan diberiakan gaji yang besar, apakah seperti
kebijakan dalam pemerintahan di Negara kita tercinta ini? Apakah rakyat akan
terus mengeluarkan uang untuk waktu santai para penguasa, rakyat semakin susah,
menderita dengan besarnya jumlah iuran yang diwajibkan, belum lagi pemungutan
pajak pada orang-orang yang seharusnya tidak kena pajak. Namun ini
disama-ratakan dengan orang-orang yang berpenghasilan dan memiliki pekerjaan
yang tetap. Ini tidak adil, sementara mereka bersenang-senang dengan uang yang
seharusnya menjadi hak rakyat.
Sori Siregar adalah penulis yang
sangat melek politik sehingga dalam karangannya senantiasa membicarakan
bagaimana perpolitikan dalam negeri maupun luar negeri. Sakit terasa dalam
hatinya melihat kondisi bangsa yang semakin jauh dari harapan sejahtera yang
diusungkan. Dalm kumpulan cerpennya yang diberi judul “SANG PEMIMPIN”
mengabarkankan kepada kita semua agar tahu dan sadar akan kondisi bangsa kita
yang sangat kita cintai ini dipimpin oleh manusia yang rakus harta dan tahta.
Saya mengaamati apa yang dikabarkan SORI SIREGAR kepada kita adalah cerminan
dari bentuk dan kondisi yang kita alami di bawah naungan yang mengusungkan
KEBEBASAN. Jadi, dalam hal ini tidak ada yang bisa dipersalahkan karena
siapapun bebas berbuat seenak jidat mereka, sehingga wewenang mereka atas
oreng-orang yang berada jauh di bawah tataran mereka tidak diperdiulikan sama
sekali. Terkait dengan yang marak dalam tubuh pemimpin kita sekarang adalah
terjadinay KORUPSI besar-besaran. Katanya, pemberantasan KORUPSI, menghapuskan
para pelaku yang terkorup. Harapan itu sayangnya tidak akan terwujud dalam
waktu dekat. Sebab, praktek pemberantasan korupsi di negeri ini terlihat
seperti sandiwara saja.
Wahai para pemimpin, pimpinlah kami dengan benar.
Jangan lagi buat rakyatmu menangis dan tertidas dalam bangsanya sendiri.
Bukankan kami para rakyat juga berhak atas rasa tenang dan tentram,
berikanlahlah hak kami dengan adil. Kami tahu, kami ini kecil, apakah kalian
akan terus-menerus menghiasi bangsa ini dengan noda-noda yang kian hari kian
mengeras pada dinding kerah bangsa ini.
Dengarlah rintihan kami yang mengharapkan kedamaian, tegakkanlah hukum dengan
benar dan adil, agar kami tidak iri kepada mereka yang bisa bebas tanpa diberi
sanksi apapaun.
By: FathMa AinWara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar